Tuesday, August 24, 2010

RESTORASI EKOSISTEM

RESTORASI EKOSISTEM,

Restorasi ekosistem mungkin masih terdengar asing di kalangan pegiat konservasi, karena ini merupakan inovasi di bidang pelestarian sumber daya alam yang relative baru dikenalkan, meski sebetulnya upaya-upaya kajiannya telah lama dilakukan. Salah satu kajian restorasi yang cukup intens di Asia, misalnya dilakkan oleh Forest Restoration Research Unit of Chiang Mai Univeristy Thailand yang didirikan pada tahun 1994. Lembaga ini telah memulai upayanya dalam melakukan kajian dan aplikasi teknik-teknik restorasi hutan rusak di daerah Thailand Utara (Forru.org).

Reforestasi dan Restorasi
Dalam upaya pemulihan (rehabilitasi) hutan, terdapat upaya yang disebut reforestasi. Reforestasi adalah upaya pembentukan kembali tutupan hutan tipe apa saja pada lahan yang sudah bukan merupakan hutan lagi. Upaya restorasi mencakup berbagai bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dengan berbagai tujuan objektif yang berbeda seperti perkebunan, agro-forestri, hutan kemasyarakatan dan sebagainya. Upaya resforestasi umumnya dilakukan pada kawasan hutan industry, yang merupakan tipe hutan paling umum di Asia. Tahun 2000, 62% dari keseluruhan hutan industri dunia berada di Asia, di mana hutan tipe ini merupakan 20% dari total tutupan hutan di Asia (Elliott, 2000).

Upaya restorasi merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan sebagai habitat bagi berbagai keragaman hayati yang terkandung di dalamnya (Elliot et al, 1995). Restorasi dapat didefinisikan sebagai proses yang intens dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variable keragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan, dan kelestarian praktik-praktik budaya (Clewell et al., 2005, Perrow & Davy, 2002).

Dalam upaya restorasi, terdapat empat kegiatan kunci, yaitu restorasi, rehabilitasi, remediasi, dan reklamasi (Bradshaw, 1997). Perrow & Davy (2002) mendefinisikan empat kegiatan kunci tersebut sebagai berikut;
- Restorasi merupakan proses pemulihan suatu ekosistem ke keadaan seperti keadaan semula sebelum terjadinya kerusakan dalam ekosistem tersebut.
- Rehabilitasi merupakan tindakan mengembalikan kondisi sesuatu yang rusak ke keadaan seperti sebelumnya yang lebih baik. Rehabilitasi ini mendekati tujuan yang diharapkan oleh proses restorasi
- Remediasi merupakan proses perbaikan atau membuat kondisi ekosistem menjadi baik kembali. Remediasi lebih menekankan kepada proses yang dilakukan daripada pencapaian akhirnya.
- Reklamasi merupakan proses untuk mengondisikan suatu lahan cocok untuk ditanami
















Untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem sehingga terpulihkannya pula perlindungan proses-proses jasa lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati, “restorasi ekosistem” merupakan pilihan terbaik. Restorasi ekosistem secara ringkas dapat didefinisikan sebagai “mengembalikan kembali ekosistem hutan asli yang ada sebelum terjadinya deforestasi’. Namun perlu difahami bahwa restorasi ekosistem tidak dapat mengembalikan semua jenis flora fauna yang dulunya pernah hidup di hutan asli sebelum deforestasi dalam satu tahapan. Maka, tujuan utama restorasi hutan adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem awal, dengan cara menanam jenis-jenis pohon kunci yang memainkan peranan penting di dalam ekologi hutan alam. Kesuksesan kegiatan restorasi dapat diukur dengan kembalinya struktur kanopi yang bertingkat, pertambahan jumlah jenis yang kembali (terutama jenis-jenis yang langka atau jenis-jenis kuci); peningkatan kondisi tanah dan pulihnya populasi jenis flora atau fauna tertentu (Elliott, 2000).

Restorasi Ekosistem Hutan Tropis Sumatera
Hutan hujan dataran rendah Sumatra merupakan habitat yang kaya akan keragaman biologinya, sekaligus juga merupakan habitat yang sangat terancam di muka bumi ini. Dari sekitar 16 juta hektar hutan Sumatra pada tahun 1900, kini hanya tersisa 500,000 ha saja. Padahal, menurut CEPF (2002) hutan dataran rendah Sumatera paling sedikitnya menjadi tempat bagi 582 jenis burung (14 endemik), 210 jenis mamalia (16 jenis endemic), 300 jenis amfibi dan reptile (69 jenis endemic), 270 jenis fauna air tawar (42 jenis endemic), 17 marga tumbuhan endemik. Preses deforestasi yang terjadi telah menghilangkan sebagaian besar habitat sebagai tempat tinggal berbagai jenis fauna seperti Harimau Sumatera, Gajah, dll. Juga akibat pembalakkan yang tidak terkendali diyakini telah menghilangkan potensi keanekaragaman hayati yang belum sempat diketahui manfaatnya.

Selain keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, saat ini semakin dipahami bahwa hutan tropis Sumatera, merupakan salah satu paru-paru dunia dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida yang berbahaya, sementara juga melepaskan oksigen yang diperlukan kehidupan di bumi. Area yang luas telah dibalak dan dibakar di Indonesia, sebagian besar untuk industri kayu komersil dan perkebunan kelapa sawit.

Di Indonesia, inisiatif restorasi ekosistem telah dirintis dan dijalankan oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). PT REKI diberikan ijin untuk mengelola kawasan seluas 98,554 hektar kawasan hutan telah dibalak di perbatasan provinsi Jambi dan Sumatera Selatan (eks konsesi PT Asialog di provinsi Jambi dan PT Inhutani di provinsi Sumatera Selatan) selama 100 tahun. Kawasan tersebut diberi nama Harapan Rainforest. Selain inisiatif Harapan Rainforest, usulan proyek restorasi ekosistem di beberapa daerah di Indonesia juga telah diajukan kepada Kementerian Kehutanan oleh beberapa perusahaan.


Sumber pustaka :
 Bradshaw, A.D. 1997. What do we mean by restoration? In Restoration Ecology and Sustainable Development. Jordan, W.R., Gilpin, M.E., Aber, J.D. pp. 23-29. Cambridge: Cambridge University Press.
 CEPF. 2002. Sundaland hotspot briefing book. Critical Ecosystem Partnership Fund.
 Elliot dkk., 1995. Research needs for restoring the forests of Thailand. Nat. Hist. Bull. Siam Soc. 43:179-184.
 Elliot dkk., 2006, Menanami Hutan : Prinsip-Prinsip dan Praktek untuk Merestorasi Hutan Tropis, FORRU Thailand. Diterjemahkan oleh William Marthy. FORRU dan Harapan Rainforest.
 http://www.forru.org/FORRUEng_Website/Pages/engaboutus.htm
 http://harapanrainforest.org/about-us
 Perrow, M.R., Davy, A.J. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Volume 1. Principles of restoration. Cambridge: Cambridge University Press.
 Clewell, A., Rieger, J., Munro, J. .2005. Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects. 2nd Edition. Society for Ecological Restoration International.

TFCA - Sumatera

TFCA-Sumatera
http://tfcasumatera.org/tfca-sumatera/

Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) atau disebut juga Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera adalah sebuah skema pengalihan hutang untuk lingkungan yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera yang tingkat deforestasinya sangat tinggi. Kesepakatan antara kedua Negara dan para pihak yang terlibat (swap partners) yaitu Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 di Manggala Wanabhakti, Jakarta.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia. Kesepakatan yang merupakan pengalihan hutang (debt-swap) ini terlaksana dengan melibatkan dua Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai mitra pelaksana kegiatan (swap partner) yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang masing-masing berkontribusi sebesar 1 juta US$ sehingga program ini juga disebut subsidized debt-for-nature swap. Ini merupakan skema yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia dan merupakan pengalihan hutang lingkungan dalam jumlah terbesar yang dibuat Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya.

Skema ini dimungkinkan karena adanya kebijakan Undang-undang Konservasi Hutan Tropis (Tropical Forest Conservation Act-TFCA), yang telah disetujui oleh Kongres Amerika ditahun 1998 sebagai mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang memiliki kekayaan hutan tropis yang tinggi.

Program ini dikelola oleh suatu badan yang bernama Oversight Committee (OC) dengan anggota tetap terdiri dari Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementrian Kehutanan, Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh USAID dan wakil-wakil dari swap partners yaitu CI dan KEHATI. Dalam pelaksanaannya, untuk memberikan keputusan-keputusan yang lebih transparan dan akurat maka keanggotaan OC ditambah dengan tiga anggota tidak tetap (designated member) dari lembaga-lembaga independen dengan masa jabatan 3 tahun. Sejak akhir tahun 2009 dan akan berakhir 2012 perwakilan anggota OC tidak tetap telah ditunjuk dari lembaga-lembaga Transparency International Indonesia, Indonesia Business Link dan Univerversitas Syiah Kuala. Oversight Committee memegang kewenangan tertinggi dalam pengelolaan dana hibah yang dalam pelaksanaan hariannya dibantu oleh Administrator dan merangkap sebagai Sekretariat OC (KEHATI).

Dana yang dihasilkan oleh program pengalihan hutang ini akan diarahkan untuk membantu Indonesia melindungi habitat hutan yang kritis di Sumatera. Kawasan Sumatra merupakan rumah bagi ratusan jenis mammalia, burung dan tumbuhan, dimana banyak diantaranya telah langka atau terancam punah, termasuk diantaranya Harimau Sumatera, Gajah, Badak dan Orangutan. Dana hibah ini dirancang untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan upaya-upaya konservasi, sekaligus membangun sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal dan sekitar hutan yang menggantungkan dirinya pada sumberdaya hutan.

Mengapa Sumatera?


Pulau Sumatera merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah satu dari 34 wilayah di dunia yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dengan endemisitas luar biasa namun dengan tekanan terhadap kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi pula. Sejarah pembentukan dan sejarah perkembangan geologinya, menjadikan Sumatera memiliki variasi topografi yang beragam, dengan berbagai tipe ekosistem yang menjadi habitat beragam flora dan fauna oriental yang khas seperti Harimau, Gajah, Orangutan, Badak Sumatera, Mentok Rimba, bunga Raflesia, dan lain-lain. Tingkat keanekaragaman taksa flora dan fauna juga relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.

Upaya perlindungan atau penyelamatan keanekaragaman hayati di Indonesia, termasuk di Sumatera, bukanlah hal yang baru. Pemerintah, telah mengalokasikan dana dan tenaga yang tidak sedikit untuk pengelolaan kawasan konservasi, termasuk sebagian diantaranya berasal dari dana bantuan donor internasional, baik melalui kerjasama bilateral maupun multi-lateral serta dari lembaga-lembaga organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 134 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera, dengan total luas keseluruhan 5.742.196,17 ha dengan bagian terbesar berupa 11 unit Taman Nasional seluas 3.882.218,48 ha.

Namun demikian, fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan yang sangat tinggi, yaitu 12 juta ha atau penurunan sebesar 48 persen tutupan hutan dalam 22 tahun akibat konversi hutan, penebangan haram dan kebakaran hutan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), deforestasi di dalam kawasan hutan periode 2003-2006 di Pulau Sumatera adalah yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya, yaitu sebesar 268.000 ha per tahun. Pulau Sumatera berkontribusi sebesar 22,8 % terhadap deforestasi total di Indonesia (1,17 juta ha per tahun). Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurangnya dari 40 % untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih miskin keanekaragaman hayati dibanding dataran rendah.

Analisis kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi memperlihatkan bahwa banyak ekosistem penting Sumatera yang berada di luar kawasan konservasi (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010), terutama di daerah-daerah dataran rendah. Sebagian besar ekosistem penting yang masuk di dalam jaringan kawasan konservasi berada di dataran tinggi. Oleh sebab itu menyelamatkan hutan yang tersisa di Sumatera baik yang berada di kawasan konservasi maupun yang berada di luarnya, menjadi sangat penting untuk saat ini. Penyelamatan tersebut dapat dalam bentuk perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara lestari sehingga mampu berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati beserta jasa yang ditimbulkannya.

Pemerintah dan dunia internasional menyadari bahwa untuk melindungi kawasan hutan tropis dunia beserta kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya perlu diselamatkan kawasan-kawasan yang bernilai penting. Sumatera termasuk salah satu kawasan yang merupakan hutan bernilai konservasi bernilai tinggi. Selain itu faktor-faktor yang menentukan dipilihnya kawasan hutan tropis basah Sumatera sebagai prioritas anatara lain:
• Laju deforestasi (konversi), termasuk yang tertinggi
• Tutupan hutan tinggal sekitar 29%, padahal Sumatera diperkirakan membutuhkan tutupan lahan minimal 40% untuk menciptakan keseimbangan antara faktor ekologi, sosial dan ekonomi
• Kawasan konservasi yang ada belum mampu melindungi keanekaragaman hayati Sumatera dan dalam posisi yang terfragmentasi dan tidak berhubungan satu dengan lainnya
• Sisa hutan yang ada menjadi sangat penting untuk dilindungi

Kawasan Prioritas Program


Guna keberlanjutan dan optimalisasi manfaat, maka kegiatan TFCA di Sumatera diarahkan pada kawasan-kawasan prioritas yang dinilai penting dan signifikan. Untuk memudahkan pengelolaan dan monitoring/evaluasi, maka Progam TFCA disiapkan untuk memiliki jangkar pada tiga wilayah , yaitu 1) TN Batang Gadis untuk Sumatera bagian Utara, 2) TN Bukit Tigapuluh di Sumatera bagian Tengah dan 3) TN Way Kambas untuk Sumatera bagian Selatan.

Secara lebih spesifik, kawasan prioritas mencakup 13 tapak (termasuk buffer zones, koridor dan kawasan-kawasan penghubung), yaitu:

I. Lansekap Sumatera Bagian Utara
• Hutan Warisan Seulawah
• Taman Nasional Leuser dan Ekosistem Leuser
• Taman Nasional Batang Gadis
• Ekosistem Angkola
• Batang Toru
• Daeran Aliran Sungai Toba Barat

II. Lansekap Sumatera Bagian Tengah
• Taman Nasional Bukit Tigapuluh
• Semenanjung Siak Kampar
• Ekosistem Tesso Nilo
• Taman Nasional Kerinci –Seblat
• Kepulauan Siberut & Mentawai

III. Lansekap Sumatera Bagian Selatan
• Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
• Taman Nasional Way Kambas

Kawasan Prioritas Pendanaan untuk tahun 2010
Fokus TFCA-Sumatera adalah pada hamparan lansekap yang kaya akan keanekaragaman hayati, mencakup ekosistem penting di dalam dan sekitar kawasan konservasi, serta wilayah koridor dan keterhubungan habitat (connectivity) dan kompleks agroekosistem disekitarnya yang dikelola oleh masyarakat lokal. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, serta mendukung komitmen Presiden RI untuk mengurangi emisi karbon secara nasional sebesar 26% dengan kontribusi dari sektor kehutanan sebesar 14 % pada tahun 2020. Lima lansekap prioritas TFCA-Sumatera pada tahap awal mulai 2010 adalah:

1. Lansekap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis,
2. Lansekap Batang Toru
3. Lansekap Batang Gadis,
4. Lansekap TN Kerinci Seblat dan sekitarnya, dan
5. Lansekap di kawasan ekosistem dan Taman Nasional Gunung Leuser.

sumber TFCA-Sumatera (http://tfcasumatera.org/tfca-sumatera/)