Tuesday, August 24, 2010

RESTORASI EKOSISTEM

RESTORASI EKOSISTEM,

Restorasi ekosistem mungkin masih terdengar asing di kalangan pegiat konservasi, karena ini merupakan inovasi di bidang pelestarian sumber daya alam yang relative baru dikenalkan, meski sebetulnya upaya-upaya kajiannya telah lama dilakukan. Salah satu kajian restorasi yang cukup intens di Asia, misalnya dilakkan oleh Forest Restoration Research Unit of Chiang Mai Univeristy Thailand yang didirikan pada tahun 1994. Lembaga ini telah memulai upayanya dalam melakukan kajian dan aplikasi teknik-teknik restorasi hutan rusak di daerah Thailand Utara (Forru.org).

Reforestasi dan Restorasi
Dalam upaya pemulihan (rehabilitasi) hutan, terdapat upaya yang disebut reforestasi. Reforestasi adalah upaya pembentukan kembali tutupan hutan tipe apa saja pada lahan yang sudah bukan merupakan hutan lagi. Upaya restorasi mencakup berbagai bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dengan berbagai tujuan objektif yang berbeda seperti perkebunan, agro-forestri, hutan kemasyarakatan dan sebagainya. Upaya resforestasi umumnya dilakukan pada kawasan hutan industry, yang merupakan tipe hutan paling umum di Asia. Tahun 2000, 62% dari keseluruhan hutan industri dunia berada di Asia, di mana hutan tipe ini merupakan 20% dari total tutupan hutan di Asia (Elliott, 2000).

Upaya restorasi merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan sebagai habitat bagi berbagai keragaman hayati yang terkandung di dalamnya (Elliot et al, 1995). Restorasi dapat didefinisikan sebagai proses yang intens dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variable keragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan, dan kelestarian praktik-praktik budaya (Clewell et al., 2005, Perrow & Davy, 2002).

Dalam upaya restorasi, terdapat empat kegiatan kunci, yaitu restorasi, rehabilitasi, remediasi, dan reklamasi (Bradshaw, 1997). Perrow & Davy (2002) mendefinisikan empat kegiatan kunci tersebut sebagai berikut;
- Restorasi merupakan proses pemulihan suatu ekosistem ke keadaan seperti keadaan semula sebelum terjadinya kerusakan dalam ekosistem tersebut.
- Rehabilitasi merupakan tindakan mengembalikan kondisi sesuatu yang rusak ke keadaan seperti sebelumnya yang lebih baik. Rehabilitasi ini mendekati tujuan yang diharapkan oleh proses restorasi
- Remediasi merupakan proses perbaikan atau membuat kondisi ekosistem menjadi baik kembali. Remediasi lebih menekankan kepada proses yang dilakukan daripada pencapaian akhirnya.
- Reklamasi merupakan proses untuk mengondisikan suatu lahan cocok untuk ditanami
















Untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem sehingga terpulihkannya pula perlindungan proses-proses jasa lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati, “restorasi ekosistem” merupakan pilihan terbaik. Restorasi ekosistem secara ringkas dapat didefinisikan sebagai “mengembalikan kembali ekosistem hutan asli yang ada sebelum terjadinya deforestasi’. Namun perlu difahami bahwa restorasi ekosistem tidak dapat mengembalikan semua jenis flora fauna yang dulunya pernah hidup di hutan asli sebelum deforestasi dalam satu tahapan. Maka, tujuan utama restorasi hutan adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem awal, dengan cara menanam jenis-jenis pohon kunci yang memainkan peranan penting di dalam ekologi hutan alam. Kesuksesan kegiatan restorasi dapat diukur dengan kembalinya struktur kanopi yang bertingkat, pertambahan jumlah jenis yang kembali (terutama jenis-jenis yang langka atau jenis-jenis kuci); peningkatan kondisi tanah dan pulihnya populasi jenis flora atau fauna tertentu (Elliott, 2000).

Restorasi Ekosistem Hutan Tropis Sumatera
Hutan hujan dataran rendah Sumatra merupakan habitat yang kaya akan keragaman biologinya, sekaligus juga merupakan habitat yang sangat terancam di muka bumi ini. Dari sekitar 16 juta hektar hutan Sumatra pada tahun 1900, kini hanya tersisa 500,000 ha saja. Padahal, menurut CEPF (2002) hutan dataran rendah Sumatera paling sedikitnya menjadi tempat bagi 582 jenis burung (14 endemik), 210 jenis mamalia (16 jenis endemic), 300 jenis amfibi dan reptile (69 jenis endemic), 270 jenis fauna air tawar (42 jenis endemic), 17 marga tumbuhan endemik. Preses deforestasi yang terjadi telah menghilangkan sebagaian besar habitat sebagai tempat tinggal berbagai jenis fauna seperti Harimau Sumatera, Gajah, dll. Juga akibat pembalakkan yang tidak terkendali diyakini telah menghilangkan potensi keanekaragaman hayati yang belum sempat diketahui manfaatnya.

Selain keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, saat ini semakin dipahami bahwa hutan tropis Sumatera, merupakan salah satu paru-paru dunia dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida yang berbahaya, sementara juga melepaskan oksigen yang diperlukan kehidupan di bumi. Area yang luas telah dibalak dan dibakar di Indonesia, sebagian besar untuk industri kayu komersil dan perkebunan kelapa sawit.

Di Indonesia, inisiatif restorasi ekosistem telah dirintis dan dijalankan oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). PT REKI diberikan ijin untuk mengelola kawasan seluas 98,554 hektar kawasan hutan telah dibalak di perbatasan provinsi Jambi dan Sumatera Selatan (eks konsesi PT Asialog di provinsi Jambi dan PT Inhutani di provinsi Sumatera Selatan) selama 100 tahun. Kawasan tersebut diberi nama Harapan Rainforest. Selain inisiatif Harapan Rainforest, usulan proyek restorasi ekosistem di beberapa daerah di Indonesia juga telah diajukan kepada Kementerian Kehutanan oleh beberapa perusahaan.


Sumber pustaka :
 Bradshaw, A.D. 1997. What do we mean by restoration? In Restoration Ecology and Sustainable Development. Jordan, W.R., Gilpin, M.E., Aber, J.D. pp. 23-29. Cambridge: Cambridge University Press.
 CEPF. 2002. Sundaland hotspot briefing book. Critical Ecosystem Partnership Fund.
 Elliot dkk., 1995. Research needs for restoring the forests of Thailand. Nat. Hist. Bull. Siam Soc. 43:179-184.
 Elliot dkk., 2006, Menanami Hutan : Prinsip-Prinsip dan Praktek untuk Merestorasi Hutan Tropis, FORRU Thailand. Diterjemahkan oleh William Marthy. FORRU dan Harapan Rainforest.
 http://www.forru.org/FORRUEng_Website/Pages/engaboutus.htm
 http://harapanrainforest.org/about-us
 Perrow, M.R., Davy, A.J. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Volume 1. Principles of restoration. Cambridge: Cambridge University Press.
 Clewell, A., Rieger, J., Munro, J. .2005. Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects. 2nd Edition. Society for Ecological Restoration International.

TFCA - Sumatera

TFCA-Sumatera
http://tfcasumatera.org/tfca-sumatera/

Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) atau disebut juga Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera adalah sebuah skema pengalihan hutang untuk lingkungan yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera yang tingkat deforestasinya sangat tinggi. Kesepakatan antara kedua Negara dan para pihak yang terlibat (swap partners) yaitu Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 di Manggala Wanabhakti, Jakarta.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia. Kesepakatan yang merupakan pengalihan hutang (debt-swap) ini terlaksana dengan melibatkan dua Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai mitra pelaksana kegiatan (swap partner) yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang masing-masing berkontribusi sebesar 1 juta US$ sehingga program ini juga disebut subsidized debt-for-nature swap. Ini merupakan skema yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia dan merupakan pengalihan hutang lingkungan dalam jumlah terbesar yang dibuat Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya.

Skema ini dimungkinkan karena adanya kebijakan Undang-undang Konservasi Hutan Tropis (Tropical Forest Conservation Act-TFCA), yang telah disetujui oleh Kongres Amerika ditahun 1998 sebagai mekanisme untuk mengurangi hutang luar negeri bagi negara-negara yang memiliki kekayaan hutan tropis yang tinggi.

Program ini dikelola oleh suatu badan yang bernama Oversight Committee (OC) dengan anggota tetap terdiri dari Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementrian Kehutanan, Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh USAID dan wakil-wakil dari swap partners yaitu CI dan KEHATI. Dalam pelaksanaannya, untuk memberikan keputusan-keputusan yang lebih transparan dan akurat maka keanggotaan OC ditambah dengan tiga anggota tidak tetap (designated member) dari lembaga-lembaga independen dengan masa jabatan 3 tahun. Sejak akhir tahun 2009 dan akan berakhir 2012 perwakilan anggota OC tidak tetap telah ditunjuk dari lembaga-lembaga Transparency International Indonesia, Indonesia Business Link dan Univerversitas Syiah Kuala. Oversight Committee memegang kewenangan tertinggi dalam pengelolaan dana hibah yang dalam pelaksanaan hariannya dibantu oleh Administrator dan merangkap sebagai Sekretariat OC (KEHATI).

Dana yang dihasilkan oleh program pengalihan hutang ini akan diarahkan untuk membantu Indonesia melindungi habitat hutan yang kritis di Sumatera. Kawasan Sumatra merupakan rumah bagi ratusan jenis mammalia, burung dan tumbuhan, dimana banyak diantaranya telah langka atau terancam punah, termasuk diantaranya Harimau Sumatera, Gajah, Badak dan Orangutan. Dana hibah ini dirancang untuk meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam dan upaya-upaya konservasi, sekaligus membangun sumber mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal dan sekitar hutan yang menggantungkan dirinya pada sumberdaya hutan.

Mengapa Sumatera?


Pulau Sumatera merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah satu dari 34 wilayah di dunia yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dengan endemisitas luar biasa namun dengan tekanan terhadap kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi pula. Sejarah pembentukan dan sejarah perkembangan geologinya, menjadikan Sumatera memiliki variasi topografi yang beragam, dengan berbagai tipe ekosistem yang menjadi habitat beragam flora dan fauna oriental yang khas seperti Harimau, Gajah, Orangutan, Badak Sumatera, Mentok Rimba, bunga Raflesia, dan lain-lain. Tingkat keanekaragaman taksa flora dan fauna juga relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.

Upaya perlindungan atau penyelamatan keanekaragaman hayati di Indonesia, termasuk di Sumatera, bukanlah hal yang baru. Pemerintah, telah mengalokasikan dana dan tenaga yang tidak sedikit untuk pengelolaan kawasan konservasi, termasuk sebagian diantaranya berasal dari dana bantuan donor internasional, baik melalui kerjasama bilateral maupun multi-lateral serta dari lembaga-lembaga organisasi non pemerintah baik nasional maupun internasional. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 134 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera, dengan total luas keseluruhan 5.742.196,17 ha dengan bagian terbesar berupa 11 unit Taman Nasional seluas 3.882.218,48 ha.

Namun demikian, fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan yang sangat tinggi, yaitu 12 juta ha atau penurunan sebesar 48 persen tutupan hutan dalam 22 tahun akibat konversi hutan, penebangan haram dan kebakaran hutan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), deforestasi di dalam kawasan hutan periode 2003-2006 di Pulau Sumatera adalah yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya, yaitu sebesar 268.000 ha per tahun. Pulau Sumatera berkontribusi sebesar 22,8 % terhadap deforestasi total di Indonesia (1,17 juta ha per tahun). Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurangnya dari 40 % untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih miskin keanekaragaman hayati dibanding dataran rendah.

Analisis kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi memperlihatkan bahwa banyak ekosistem penting Sumatera yang berada di luar kawasan konservasi (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010), terutama di daerah-daerah dataran rendah. Sebagian besar ekosistem penting yang masuk di dalam jaringan kawasan konservasi berada di dataran tinggi. Oleh sebab itu menyelamatkan hutan yang tersisa di Sumatera baik yang berada di kawasan konservasi maupun yang berada di luarnya, menjadi sangat penting untuk saat ini. Penyelamatan tersebut dapat dalam bentuk perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara lestari sehingga mampu berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati beserta jasa yang ditimbulkannya.

Pemerintah dan dunia internasional menyadari bahwa untuk melindungi kawasan hutan tropis dunia beserta kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya perlu diselamatkan kawasan-kawasan yang bernilai penting. Sumatera termasuk salah satu kawasan yang merupakan hutan bernilai konservasi bernilai tinggi. Selain itu faktor-faktor yang menentukan dipilihnya kawasan hutan tropis basah Sumatera sebagai prioritas anatara lain:
• Laju deforestasi (konversi), termasuk yang tertinggi
• Tutupan hutan tinggal sekitar 29%, padahal Sumatera diperkirakan membutuhkan tutupan lahan minimal 40% untuk menciptakan keseimbangan antara faktor ekologi, sosial dan ekonomi
• Kawasan konservasi yang ada belum mampu melindungi keanekaragaman hayati Sumatera dan dalam posisi yang terfragmentasi dan tidak berhubungan satu dengan lainnya
• Sisa hutan yang ada menjadi sangat penting untuk dilindungi

Kawasan Prioritas Program


Guna keberlanjutan dan optimalisasi manfaat, maka kegiatan TFCA di Sumatera diarahkan pada kawasan-kawasan prioritas yang dinilai penting dan signifikan. Untuk memudahkan pengelolaan dan monitoring/evaluasi, maka Progam TFCA disiapkan untuk memiliki jangkar pada tiga wilayah , yaitu 1) TN Batang Gadis untuk Sumatera bagian Utara, 2) TN Bukit Tigapuluh di Sumatera bagian Tengah dan 3) TN Way Kambas untuk Sumatera bagian Selatan.

Secara lebih spesifik, kawasan prioritas mencakup 13 tapak (termasuk buffer zones, koridor dan kawasan-kawasan penghubung), yaitu:

I. Lansekap Sumatera Bagian Utara
• Hutan Warisan Seulawah
• Taman Nasional Leuser dan Ekosistem Leuser
• Taman Nasional Batang Gadis
• Ekosistem Angkola
• Batang Toru
• Daeran Aliran Sungai Toba Barat

II. Lansekap Sumatera Bagian Tengah
• Taman Nasional Bukit Tigapuluh
• Semenanjung Siak Kampar
• Ekosistem Tesso Nilo
• Taman Nasional Kerinci –Seblat
• Kepulauan Siberut & Mentawai

III. Lansekap Sumatera Bagian Selatan
• Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
• Taman Nasional Way Kambas

Kawasan Prioritas Pendanaan untuk tahun 2010
Fokus TFCA-Sumatera adalah pada hamparan lansekap yang kaya akan keanekaragaman hayati, mencakup ekosistem penting di dalam dan sekitar kawasan konservasi, serta wilayah koridor dan keterhubungan habitat (connectivity) dan kompleks agroekosistem disekitarnya yang dikelola oleh masyarakat lokal. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan kontribusi nyata bagi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, serta mendukung komitmen Presiden RI untuk mengurangi emisi karbon secara nasional sebesar 26% dengan kontribusi dari sektor kehutanan sebesar 14 % pada tahun 2020. Lima lansekap prioritas TFCA-Sumatera pada tahap awal mulai 2010 adalah:

1. Lansekap Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis,
2. Lansekap Batang Toru
3. Lansekap Batang Gadis,
4. Lansekap TN Kerinci Seblat dan sekitarnya, dan
5. Lansekap di kawasan ekosistem dan Taman Nasional Gunung Leuser.

sumber TFCA-Sumatera (http://tfcasumatera.org/tfca-sumatera/)

Friday, April 2, 2010

KAJIAN EKOLOGI SPASIAL PADA SATWA LIAR

KAJIAN EKOLOGI SPASIAL PADA SATWA LIAR
M Jeri Imansyah, (mjimansyah@yahoo.co.id)

Hilangnya dan fragmentasi habitat saat ini merupakan ancaman paling serius bagi hidupan liar di seluruh dunia, sehingga menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana pola dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bentang alam serta tanggapan satwa terhadap modifikasi alam ini (Blumstein & Fernandez-Juricic 2004; Collinge 2001). Proses spasial yang heterogen berpengaruh langsung terhadap system ekologi (Gardner et al. 1998). Pengaturan spasial individu-individu dalam populasi akan merefleksikan aspek-aspek tingkah laku dan ekologinya, dan ini penting dalam menentukan keberadaan populasi dan lairan gen di dalam dan antar sub populasi (Brown & Downhowe 1988: Johnson 2000). Sehingga, dinamika populasi satwa tidak hanya tergantung pada laju kelahiran dan kematian semata, tapi juga terhadap kemampuan satwa untuk bergerak masuk atau keluat populasi (Dasmann 1964). Menentukan jumlah individu yang terdapat di suatu wilayah adalah merupakan pertanyaan paling mendasar dalam ekologi, tapi lebih penting lagi untuk dapat memahami bagaimana satwa memberikan respon terhadap perubahan kondisi bentang alam, terlepas ini berada pada tingkat individu, populasi, atau pun komunitas (Lawson et al. 2006).

Ekologi spasial menurut merupakan inti dari sain ekologi. menunjukkan bahwa ekologi spasial adalah sain yang salah satu tujuannya adalah untuk dapat mengerti proses-proses ekologi yang mempengaruhi sebaran individu yang biasanya jarang tersebar secara merata meliputi keseluruhan bentang alam (Boyce & McDonald 1999; Krebs (1999). Coliinge (2001) menyimpulkan bagwa ekologi spasial adalah merupakan kajian studi yang dipusatkan untuk dapat memahami bagaimana konfigurasi bentang lahan berpengaruh terhadap dinamika populasi dan komunitas suatu organisme. Sedangkan Whitaker dan Shine (2003) menyatakan bahwa dengan mempelajari ekologi spasial dapat memberikan kontribusi paling tidak terhadap tidak keuntungan, yaitu : satu, pemahaman yang lebih baik tentang pergerakan dan pemilihan habitat oleh satwa; kedua, memberikan informasi tentang interaksi satw-manuia; dan ketiga, sebagai suatu alat untuk menilai respon dan peran satwa di dalam habitatnya. Dalam hal ini Collinge (2001) menekankan bahwa studi empiris dalam ekologi spasial sangat menunjang penelitian untuk keperluan konservasi sebagai mekanisme praktis untuk desain rencana pengelolaan dan konservasi hidupan liar. Dalam melakukan kajian ekologi spasial, kebanyakan peneliti memasukkan kajian dispersal (Olsson & Shine 2003), pergerakan dan wilayah aktivitas atau wilayah jelajah, penggunaan habitat, pola aktivitas (Fitzgerald et al. 2002; Piepgras & Lang 2000); jenis makanan (Thompson & Thompson 2001; Whitaker & Shine 2003); dan perubahan habitat (Pearson et al. 2005; Fitzgerald et al. 2002).

Dapat disimpulkan bahwa kajian ekologi spasial dapat meliputi dispersal, pergerakan dan wilayah aktivitas atau wilayah jelajah, penggunaan habitat, pola aktivitas jenis-jenis makanan sebagai respon organisme terhadap kondisi dan perubahan habitat.

Saturday, March 20, 2010


ACKNOWLEDGEMENTS AND DEDICATION



We dedicated our work in saving komodo dragon in memory of Bai Ibrihim who was a core member of the Komodo dragon field research team since 2002. Bai was instrumental in many aspects of our research. He was remarkable in the field and essentially taught us how to hand capture big dragons. Bai had a brain that was like a GPS and was able to find his way back to camp no matter how lost everyone else became. Most of all Bai worked like 2 men and had a great joy for hard work which was infectious on the rest of us. He had a great sense of humor and a hearty laugh that always lifted our spirits. He will be dearly missed by one and all. Thank you for everything Bai.

for more information please visit us at http://kspindonesia.org

Thursday, March 18, 2010

SPATIAL ECOLOGY STUDIES IN FREE RANGING ANIMALS

SPATIAL ECOLOGY STUDIES IN FREE RANGING ANIMALS

M Jeri Imansyah (mjimansyah@yahoo.co.id); http://consecol.blogspot.com; http://ekologi.wordpress.com

Habitat loss and fragmentation are currently the most serious threats to wildlife worldwide, so it is important to understand how patterns and processes of landscape change will cause individual populations and species to respond to these broad-scale modifications (Blumstein & Fernandez-Juricic 2004; Collinge 2001). Spatial heterogeneity processes directly affect ecological systems (Gardner et al. 1989). The spatial arrangement of individuals within a population will reflect aspects of its behavior and ecology, and is important in determining population persistence and gene flow within and between sub-populations (Brown & Downhower 1988; Johnson 2000). Thus, the dynamics of an animal population depends not only on birth and death rates, but also on an animal’s ability to move into or out of a population (Dasmann 1964). Determining the number of individuals persisting in an area is a basic question in ecology, but it is more important to understand how an animal responds to changing landscape conditions, regardless of whether it is at the individual, population or community level (Lawson et al. 2006).

Krebs (1999) pointed out that spatial ecology as a science aims to understand the ecological processes that determine the location of individuals, which are rarely spread evenly over the landscape. Collinge (2001) concluded that spatial ecology is an ecological study, which centers upon understanding how landscape configurations influence the community and population dynamics of organisms. Spatial ecology is at the very core of the science of ecology (Boyce & McDonald 1999). Whitaker and Shine (2003) stated that studying spatial ecology can contribute at least three potential benefits; first, a better understanding of movement and habitat selection by the animal, second, giving information regarding animal-human interactions, and third, as an aid in assessing the response and role of an animal in regards to their habitat. Collinge (2001) emphasized that empirical studies in spatial ecology beneficially links conservation biology research to practical mechanisms for species management and conservation planning. In studying spatial ecology, authors included studies of dispersal (e.g. Olsson & Shine 2003), movement and activity area, habitat use, activity patterns (Fitzgerald et al. 2002; Piepgras & Lang 2000), diets (Thompson & Thompson 2001; Whitaker & Shine 2003), and anthropic habitat changes (Pearson et al. 2005; Martin et al. 2001; Fitzgerald et al. 2002).

Dispersal is the movement of an individual from its natal area to an unoccupied and suitable area within which it is able to establish its own home range. Caughley and Sinclair (1994) emphasised that migration is not the equivalent of dispersal. Greenwood and Swingland (1984) described dispersal as being caused by the need for an individual to search for food sources. Lebreton et al. (2003) studied the importance of dispersal as a mechanism in reproduction.

It is essential in studying spatial ecology to investigate dispersal patterns. Dispersal is recognized as a key process in ecology, evolution, and conservation and it is important to understand the consequences to an animal’s behaviour as it responds to the habitat (van Dyck & Baguette 2005). Dispersal can affect the dynamics and persistence of populations, distribution and abundance, community structure, gene flow, local adaptation, speciation, and the evolution of life-history traits (Lebreton et al. 2003; Roper et al. 2003). Thus, dispersal is one of the most critical events in the life of most animals and one of the most important processes affecting the ecology and evolution of populations (Roper et al. 2003).
PRINSIP DASAR BIOLOGI KONSERVASI
Email : mjimansyah@yahoo.co.id; Web/blog : http://consecol.blogspot.com, http://ekologi.wordpress.com, http://komododragon.wordpress.com,

Pendahuluan
Bumi ini tidak hanya dihuni oleh manusia, sebagai makhluk yang diberi mandat oleh Sang Pencipta untuk mengelolanya, namun juga masih ada makhluk lain yang juga memiliki hak untuk hidup. Kita sebagai manusia, sepanjang sejarah kehidupannya, selalu mengambil segala manfaat dari bumi ini yang kemudian berkonsekuensi terhadap rusaknya alam dan mempercepat hilangnya keragaman hayati. Sebagai makhluk yang selalu mengambil manfaat dari alam, sesungguhnya Manusia berkewajiban mengelola sumber daya alam, habitat, dan segala keragaman hayati yang terdapat di dalamnya.
Dalam ilmu ekologi, ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan alam di sekitarnya, terdapat ilmu yang sekarang terus berkembang pesat yaitu biologi konservasi. Tulisan ini akan membahas (menyarikan) beberapa prinsip dan pengertian dasar yang terkandung dalam biologi konservasi sebagaimana dikemukakan oleh Trombulak et al, (2004) dalam tulisannya berjudul Principles of Conservation Biology: Recommended Guidelines for Conservation Literacy from Education Committee of the Society for Conservation Biology.

Tujuan Biologi Konservasi
Biologi Konservasi merupakan bagian dari ilmu biologi dengan latar multi disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari permasalahan di bidang keragaman hayati serta bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Tujuan utama biologi konservasi adalah untuk memelihara tiga aspek penting kehidupan bumi : 1) keragaman hayati yang terdapat dalam system kehidupan (keragaman hayati); 2) komposisi, struktur, dan fungsi system tersebut (keutuhan ekologi); dan 3) kemampuan aspek-aspek tersebut dalam menyesuaikan seiring waktu) kesehatan ekologi (Callicott et al, 1999). Trombulak et al (2004) mengemukakan bahwa biologi konservasi bertujuan untuk melindungi dan melestarikan :
1. Keragaman biologi: keragaman biologi adalah berbagai organisme pada semua tingkatan organisasi, termasuk gen, spesies, level taksonomi yang lebih tinggi, dan berbagai habitat dan ekosistem.
2. Keutuhan ekologi: keutuhan ekologi adalah tingkat di mana sekumpulan organism menjaga keutuhan komposisinya, strukturnya, dan fungsi seiring waktu relative dibandingkan sekumpulan lainnya yang belum terganggu oleh aktivitas manusia.
3. Kesehatan ekologi: kesehatan ekologi adalah ukuran relative kondisi suatu ekosistem berkaitan dengan kemampuannya menghadapi stress dan menjaga organisasi dan kemampuan mengatur diri sendiri seiring waktu.

Nilai penting keragaman hayati, keutuhan ekologi dan kesehatan ekologi
Konservasi alam dipertimbangkan penting atas dasar tiga alasan: 1) nilai intrinsik; 2) nilai instrumental / ekonomis; 3) nilai psikologis (emosional, spiritual). Nilai intrinsic adalah nilai-nilai alami itu sendiri terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Nilai instrumental adalah nilai alam berdasarkan kegunaannya bagi manusia, biasanya diukur dalam nilai ekonomis dan jasanya. Sedangkan nilai psikologis adalah nilai alam dalam bentuk kontribusi alam bagi psikologis manusia (esmosional, spiritual, dan estetik).

Konsep dasar pemahaman keragaman hayati, keutuhan dan kesehatan ekologi
Pemahaman akan pentingnya komponen alam yang perlu dipertimbangkan untuk dalam upaya konservasi berdasar pemahaman berbagai konsep kunci biologis, termasuk taksonomi, ekologi, genetic, geografi, dan biologi evolusi. Komponen kunci tersebut adalah: hirarki taksonomi, hirarki ekologis, keragaman genetic, konsep spesies, pertumbuhan populasi, distribusi spesies, komunitas dan ekosistem, stokastik (stokastik adalah kemungkinan suatu individu di alam dapat bertahan hidup dari satu periode ke periode lain), dan kepunahan (hilangnya garis evolusi suatu spesies).

Ancaman terhadap keragaman hayati, keutuhan ekologi, dan kesehatan ekologi
Alam terus menerus menghadapi berbagai ancaman dari manusia, termasuk akibat dari aktivitias pemanenan, perusakan dan modifikasi habitat, dan introduksi spesies bukan asli. Sejarah ekosistem hingga saat ini telah mencatat terjadinya perubahan dramatis dan menunjukkan perbedaan yang sangat ekstrim antara kondisi masa sekarang dibandingkan masa lalu, Keterancaman alam sangat dipengaruhi oleh seberapa besar perubahan itu sudah terjadi. Konsep yang salah tentang ekologi selama ini telah menuntun pembangunan ke arah terjadinya kehilangan keragaman hayati, degradasi keutuhan ekologi, dan penurunan kesehatan ekologi.
Dampak dari kolonisasi oleh manusia memiliki sejarah panjang menjadi penyebab kepunahan dan perubahan besar pada ekosistem. Pola kepunahan spesies yang saat ini terjadi terjadi dalam kecepatan yang sangat tinggi dan belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Perubahan iklim global yang saat ini melanda bumi adalah kenaikan rata-rata suhu bumi akibat efek rumah kaca dan memberikan konsekuensi buruk pada kehidupan di muka bumi. Efek rumah kaca terutama diakibatkan oleh berlebihnya penggunaan bahan bakar fosil, pelepasan karbon dari tumbuhan.

Perlindungan dan Restorasi keragaman hayati, keutuhan ekologi, dan kesehatan ekologi
Konservasi sumber daya alam memerlukan kombinasi berbagai strategi, termasuk perlindungan spesies teracam punah, pencadangan kawasan ekologi, pengendalian kegiatan manusia yang dapat merusak ekosistem, restorasi ekosistem, penangkaran, pengendalian spesies bukan asli, dan pendidikan biologi konservasi.
Perlindungan spesies terancam punah. Spesies dengan resiko kepunahan memerlukan perlindungan dari berbagai eksploitasi dan hilangnya habitat. Perlidungan spesies dilakukan dengan dengan melakukan identifikasi factor-faktor yang mengarahkan pada penurunan ukuran populasi serta penghilangan factor-faktor tersebut.
Sistem pencadangan kawasan ekologi. Kawasan yang ditujukan untuk keperluan konservasi perlu dibentuk dan dikelola sehingga dapat melindungi suatu ekosistem secara utuh, termasuk perlindungan terhadap spesies-spesies terancam punah. Kawasan ini merupakan suatu kawasan yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan spesies dari kepunahan, serta mempromosikan proses-proses ekologi dan evolusi. Efektivitas system ini sangat dipengaruhi berbagai aspek, termasuk tekanan terhadap kawasan, aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan, konektivitas habitat bagi organism di dalamnya. Kawasan ini perlu pula dipersiapkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam spesies yang dilindungi di dalamnya.
Restorasi ekosistem. Ekosistem yang sudah terdegradasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan perubahan komposisi spesies perlu dilakukan upaya restorasi terhadapnya sehingga dapat mencapai kondisi sedekat mungkin dengan kondisi alaminya. Upaya restorasi dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas penghilangan tekanan terhadap ekosistem, penghilangan spesies exotic, serta restorasi proses-proses ekologi.
Harapan Rainforest (http://harapanrainforest.org) adalah merupakan satu contoh upaya restorasi yang dilakukan di Indonesia. Sebagai proyek restorasi ekosistem pertama di Indonesia dan terbesar di dunia, dengan didukung Burung Indonesia, BirdLife International dan the Royal Society for the Protection of Birds, Harapan Rainforest melakukan upaya pemulihan ekosistem bekas lahan konsesi pembalakan hutan di atas areal hutan hujan dataran rendah seluas sekitar 98.555 ha yang terletak di perbatasan provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Upaya-upaya yang ditempuh Harapan Rainforest meliputi perlindungan kawasan, pemulihan kawasan dengan kegiatan penanaman, partisipasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan penelitian keragaman hayati untuk mendapatkan strategi restorasi terbaik.
Peningkatan populasi alami. Pada spesies yang terancam punah, manfaat dari peningkatan ukuran populasi melalui introduksi hasil penangkaran ke alam, dapat ditempuh. Tindakan perlu diambil untuk memelihara keragaman genetic antara generasi, serta minimalisasi habitatuasi terhadap manusia. Meski demikian perlu dipertimbangkan bahwas opsi ini sangatlah mahal, namun strategi ini bermanfaat untuk mencegah kepunahan secara awal.
Pengelolaan pemanenan dan spesies non alami. Jumlah individual yang dapat dipanen di alam harus diatur sehingga tidak meningkatkan ancaman kepunhanan spesies tersebut. Aturan yang jelas dan konsisten perlu dijalankan untuk pengaturan pemanenan populasi di alami. Sedangkan pengaturan spesies non alami perlu dijalankan agar tidak meningkatkan ancaman kepunahan populasi spesies yang terpengaruh oleh spesies non alami tersebut. Kebanyakan spesies non alami dapat berkembang biak dan menyebar diluar kendali sehingga mengakibatkan tekanan dan meningkatkan ancaman kepunahan terhadap spesies alami.
Partisipasi politik. Sangatlah penting kuatnya pemahaman dan partisipasi politik untuk memastikan konservasi biologi ke dalam ranah kebijakan public. Dalam hal ini diperlukan pemahaman proses dan struktur bagaiman kebijakan public dibuat, termasuk peraturan, administrative, hubungan dan lobi. Mengenal orang-orang kunci yang memainkan peran penting di berbagai tingkatan. Berbagi pengalaman dengan politisi untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang konservasi biologi serta pemahaman konservasionis mengenai pembuatan kebijakan public.
Pendidikan konservasi. Pendidikan konservasi perlu dijalankan di seluruh lini dan tingkatan komunitas, sehingga menciptakan kondisi di mana masyarakat dapat hidup berdampingan dengan alam. Pendidikan konservasi bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta perilaku yang penting bagi upaya konservasi.

Ditulis : 14 Maret 2010
Sumber : Trombulak, S.C., Omland, K.S., Robinson, J.A., Lusk, J.J., Fleischner, T.I., Brown, G., Domroese, M. 2004. Principles of Conservation Biology: Recommended Guidelines for Conservation Literacy from Education Committee of the Society for Conservation Biology. Conservation Biology 18(5): 1180-1190.

Thursday, March 4, 2010

populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009

Laporan Singkat Hasil survey populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009
•Agustus, 4, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar (Sunting)

Laporan Singkat Hasil survey populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009
Survey populasi biawak komodo dan mangsanya di dalam Kawasan Cagar Alam Wae Wuul Flores Barat telah dilakukan sejak tanggal 22 Juni hingga 19 Juli 2009. Metode lapangan yang digunakan untuk mendapatkan perkiraan populasi Biawak Komodo di Cagar Alam Wae Wuul adalah dengan menangkap menandai melepas dan menangkap kembali (Capture Mark Release Recapture). Metode ini dilakukan dengan menempatkan 26 perangkap yang disebar merata di dalam kawasan Cagar Alam Wae Wuul, setelah tertangkap, Biawak Komodo akan diukur dan ditandai, setelah itu, Biawak Komodo yang sudah ditandai akan dilepas kembali. Sementara itu, untuk mendapatkan nilai kepadatan mangsa Biawak Komodo (terutama Rusa), metode lapangan yang digunakan adalah metode penghitungan kotoran (pellet group) dalam setiap 30 titik/plot berdiameter 2 meter yang terletak di setiap 10 meter pada garis transek sepanjang 30 meter, dengan jumlah total garis transek sebanyak 40. Selain itu, untuk mendapatkan perkiraan nilai populasi mangsa Biawak Komodo, dilakukan juga penghitungan langsung dengan menggunakan metode jarak sepanjang garis transek.
Selama 22 hari survey populasi Biawak Komodo, diperoleh 17 ekor Biawak Komodo yang tertangkap, ditandai dan dilepas kembali. Dari 17 ekor Biawak Komodo yang tertangkap, hampir sebagian besar berukuran di bawah 4 Kg, dengan hanya satu ekor berukuran yang paling besar yaitu 19 Kg. Selama survey tidak pernah terlihat Biawak Komodo yang mempunyai ukuran lebih dari 20 Kg. Sementara itu, jumlah penghitungan kotoran rusa pada plot sepanjang garis transek yang berjumlah 40, menunjukan nilai yang sangat kecil (rata-rata dibawah 1 grup pelet pertransek), nilai rendah juga didapat dengan menggunakan metode penghitungan langsung sepanjang garis transek, yaitu hanya terdapat lima perjumpaan.
Berdasarkan data lapangan yang belum lama diperoleh, Populasi Biawak Komodo di Cagar Alam Wae Wuul berada dalam kondisi yang rentan untuk punah, selain terdapat penurunan yang signifikan sejak survey yang dilakukan tahun 1991, 2000 dan tahun lalu (Nopember 2008), tidak terdapatnya ukuran dewasa akan mengkhawatirkan untuk rekrutmen individu baru dalam populasi. Rendahnya ukuran populasi di Cagar Alam Wae Wuul juga berkaitan dengan rendahnya jumlah Rusa yang merupakan mangsa utama Biawak Komodo. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan usaha-usaha untuk pengelolaan habitat agar populasi Komodo dan Rusa kembali meningkat. selain itu usaha-usaha pengamanan juga perlu dilakukan beriringan dengan usaha pengelolaan habitat untuk mencegah terjadinya ancaman yang mengganggu proses ekologis dalam kawasan Cagar Alam Wae Wuul, seperti pencegahan kebakaran hutan.

Ditulis dalam Uncategorized
Populasi Komodo di Wae Wuul menurun drastis
•Agustus, 4, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar (Sunting)

Kegiatan survey populasi biawak Komodo (Varanus komodoensis) dan mangsanya yang dilaksanakan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (Balai Besar KSDA NTT) bekerjasama dengan Komodo Survival Program (KSP) di Cagar Alam Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, antara 22 Juni hingga 19 Juli 2009, sebagai implementasi naskah Perjanjian Kerjasama antara BALAI BESAR KSDA NTT NTT dan KSP tentang Penelitian dan Pemantauan Populasi Biawak Komodo dan Keanekaragaman Hayati Beserta Habitatnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 2008, dengan ini kami menyampaikan laporan sementara sebagai informasi mengenai keadaan terkini populasi biawak Komodo di CA Wae Wuul.
Dari hasil survey menggunakan metode penangkapan dan penandaan selama 22 hari dengan menggunakan 26 titik perangkap dan pencarian secara aktif meliputi kawasan seluas 14.484 ha (14.8 km2), hanya 17 individu yang terpantau di CA Wae Wuul. Sementara survey populasi mangsa utama biawak Komodo yang diukur menggunakan metode transek plot menunjukkan indeks kepadatan populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) sebesar 0.48/transect.
Survey yang dilakukan pada tahun 1991 oleh PHKA menemukan 66 Komodo di Wae wuul dan area sekitarnya, sedangkan survey pada tahun 2000 oleh Ciofi dan De Boer bersama dengan Balai Besar KSDA NTT II, hanya 19 Komodo saja yang tertangkap, dengan kepadatan populasi 10 kali lebih rendah dibandingkan yang tertangkap di Taman Nasional Komodo. Pada survey yang dilakukan oleh BALAI BESAR KSDA NTT NTT dan KSP tahun 2008, hanya 10 kali perjumpaan saja 6 titik penempatan umpan gantung dari 16 lokasi tempat pengumpanan di Cagar Alam Wae Wuul. Sedangkan survey pada 2009 hanya 17 individu yang tertangkap. Indeks kepadatan Rusa Timor pada tahun 2008 tercatat 0.48/transek sedangkan pada survey tahun 2009 diperoleh nilai kepadatan dibawah 1/km2, menunjukkan adanya penurunan kepadatan populasi mangsa.
Berdasarkan hasil survey tersebut diatas, sangat jelas bahwa populasi biawak Komodo di Wae Wuul sangat terancam. Faktanya, populasi Komodo disana telah mengalami penurunan yang signifikan dalam kurun waktu 18 tahun. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya kepadatan Rusa Timor sebagai mangsa biawak Komodo dan tingginya tekanan aktivitas manusia seperti perburuan Rusa dan pembakaran padang rumput di sekitar dan di dalam kawasan.
Berdasar fakta tersebut, sehubungan dengan izin penangkapan biawak Komodo yang Bapak keluarkan melalui SK.384/Menhut-II/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang izin penangkapan 10 ekor biawak Komodo dari habitat aslinya di CA Wae Wuul, yang secara administratif termasuk kedalam wilayah Desa Macan Tanggar dan Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, dengan ini kami menyarankan agar Bapak dapat mempertimbangkan pembatalan SK.384/Menhut-II/2009. Penangkapan 10 individu biawak Komodo di CA Wae Wuul akan sangat mempengaruhi keberadaan populasi tersebut. Kami khawatir penangkapan tersebut akan menyebabkan kepunahan biawak Komodo di Flores, khususnya di CA Wae Wuul yang mewakili keragaman genetik terpisah dari Taman Nasional Komodo.
Hingga saat ini, berbagai Kebun binatang di Indonesia telah bekerja dengan baik dalam membiakkan Komodo di penangkaran dan menurut pusat penelitian biologi LIPI, Komodo asal flores terdapat di tiga kebun binatang di Jawa: Ragunan (44 ekor), Gembira Loka (26 ekor), Surabaya (11 ekor). Alternatif yang mungkin dilakukan oleh kebun binatang Indonesia (dan luar negeri) yang lain untuk menambah jumlah koleksi Komodo adalah dengan mengandalkan Komodo yang ada dari kebun binatang – kebun binatang di Indonesia yang telah berhasil membiakkan Komodo. Populasi Komodo dalam penangkaran ini cukup mewakili secara genetis dan merupakan sumber yang baik untuk program penangkaran Komodo.
Oleh karena itu, kami menyarankan rencana perlindungan khusus untuk populasi Komodo yang tersisa di Cagar Alam Wae Wuul. EAZA akan melanjutkan membantu menyediakan dana untuk kegiatan perlindungan komodo yang dilaksanakan oleh Balai Besar KSDA NTT dan KSP.