Saturday, March 20, 2010


ACKNOWLEDGEMENTS AND DEDICATION



We dedicated our work in saving komodo dragon in memory of Bai Ibrihim who was a core member of the Komodo dragon field research team since 2002. Bai was instrumental in many aspects of our research. He was remarkable in the field and essentially taught us how to hand capture big dragons. Bai had a brain that was like a GPS and was able to find his way back to camp no matter how lost everyone else became. Most of all Bai worked like 2 men and had a great joy for hard work which was infectious on the rest of us. He had a great sense of humor and a hearty laugh that always lifted our spirits. He will be dearly missed by one and all. Thank you for everything Bai.

for more information please visit us at http://kspindonesia.org

Thursday, March 18, 2010

SPATIAL ECOLOGY STUDIES IN FREE RANGING ANIMALS

SPATIAL ECOLOGY STUDIES IN FREE RANGING ANIMALS

M Jeri Imansyah (mjimansyah@yahoo.co.id); http://consecol.blogspot.com; http://ekologi.wordpress.com

Habitat loss and fragmentation are currently the most serious threats to wildlife worldwide, so it is important to understand how patterns and processes of landscape change will cause individual populations and species to respond to these broad-scale modifications (Blumstein & Fernandez-Juricic 2004; Collinge 2001). Spatial heterogeneity processes directly affect ecological systems (Gardner et al. 1989). The spatial arrangement of individuals within a population will reflect aspects of its behavior and ecology, and is important in determining population persistence and gene flow within and between sub-populations (Brown & Downhower 1988; Johnson 2000). Thus, the dynamics of an animal population depends not only on birth and death rates, but also on an animal’s ability to move into or out of a population (Dasmann 1964). Determining the number of individuals persisting in an area is a basic question in ecology, but it is more important to understand how an animal responds to changing landscape conditions, regardless of whether it is at the individual, population or community level (Lawson et al. 2006).

Krebs (1999) pointed out that spatial ecology as a science aims to understand the ecological processes that determine the location of individuals, which are rarely spread evenly over the landscape. Collinge (2001) concluded that spatial ecology is an ecological study, which centers upon understanding how landscape configurations influence the community and population dynamics of organisms. Spatial ecology is at the very core of the science of ecology (Boyce & McDonald 1999). Whitaker and Shine (2003) stated that studying spatial ecology can contribute at least three potential benefits; first, a better understanding of movement and habitat selection by the animal, second, giving information regarding animal-human interactions, and third, as an aid in assessing the response and role of an animal in regards to their habitat. Collinge (2001) emphasized that empirical studies in spatial ecology beneficially links conservation biology research to practical mechanisms for species management and conservation planning. In studying spatial ecology, authors included studies of dispersal (e.g. Olsson & Shine 2003), movement and activity area, habitat use, activity patterns (Fitzgerald et al. 2002; Piepgras & Lang 2000), diets (Thompson & Thompson 2001; Whitaker & Shine 2003), and anthropic habitat changes (Pearson et al. 2005; Martin et al. 2001; Fitzgerald et al. 2002).

Dispersal is the movement of an individual from its natal area to an unoccupied and suitable area within which it is able to establish its own home range. Caughley and Sinclair (1994) emphasised that migration is not the equivalent of dispersal. Greenwood and Swingland (1984) described dispersal as being caused by the need for an individual to search for food sources. Lebreton et al. (2003) studied the importance of dispersal as a mechanism in reproduction.

It is essential in studying spatial ecology to investigate dispersal patterns. Dispersal is recognized as a key process in ecology, evolution, and conservation and it is important to understand the consequences to an animal’s behaviour as it responds to the habitat (van Dyck & Baguette 2005). Dispersal can affect the dynamics and persistence of populations, distribution and abundance, community structure, gene flow, local adaptation, speciation, and the evolution of life-history traits (Lebreton et al. 2003; Roper et al. 2003). Thus, dispersal is one of the most critical events in the life of most animals and one of the most important processes affecting the ecology and evolution of populations (Roper et al. 2003).
PRINSIP DASAR BIOLOGI KONSERVASI
Email : mjimansyah@yahoo.co.id; Web/blog : http://consecol.blogspot.com, http://ekologi.wordpress.com, http://komododragon.wordpress.com,

Pendahuluan
Bumi ini tidak hanya dihuni oleh manusia, sebagai makhluk yang diberi mandat oleh Sang Pencipta untuk mengelolanya, namun juga masih ada makhluk lain yang juga memiliki hak untuk hidup. Kita sebagai manusia, sepanjang sejarah kehidupannya, selalu mengambil segala manfaat dari bumi ini yang kemudian berkonsekuensi terhadap rusaknya alam dan mempercepat hilangnya keragaman hayati. Sebagai makhluk yang selalu mengambil manfaat dari alam, sesungguhnya Manusia berkewajiban mengelola sumber daya alam, habitat, dan segala keragaman hayati yang terdapat di dalamnya.
Dalam ilmu ekologi, ilmu yang mempelajari interaksi antara manusia dengan alam di sekitarnya, terdapat ilmu yang sekarang terus berkembang pesat yaitu biologi konservasi. Tulisan ini akan membahas (menyarikan) beberapa prinsip dan pengertian dasar yang terkandung dalam biologi konservasi sebagaimana dikemukakan oleh Trombulak et al, (2004) dalam tulisannya berjudul Principles of Conservation Biology: Recommended Guidelines for Conservation Literacy from Education Committee of the Society for Conservation Biology.

Tujuan Biologi Konservasi
Biologi Konservasi merupakan bagian dari ilmu biologi dengan latar multi disiplin ilmu yang bertujuan mempelajari permasalahan di bidang keragaman hayati serta bagaimana memecahkan permasalahan tersebut. Tujuan utama biologi konservasi adalah untuk memelihara tiga aspek penting kehidupan bumi : 1) keragaman hayati yang terdapat dalam system kehidupan (keragaman hayati); 2) komposisi, struktur, dan fungsi system tersebut (keutuhan ekologi); dan 3) kemampuan aspek-aspek tersebut dalam menyesuaikan seiring waktu) kesehatan ekologi (Callicott et al, 1999). Trombulak et al (2004) mengemukakan bahwa biologi konservasi bertujuan untuk melindungi dan melestarikan :
1. Keragaman biologi: keragaman biologi adalah berbagai organisme pada semua tingkatan organisasi, termasuk gen, spesies, level taksonomi yang lebih tinggi, dan berbagai habitat dan ekosistem.
2. Keutuhan ekologi: keutuhan ekologi adalah tingkat di mana sekumpulan organism menjaga keutuhan komposisinya, strukturnya, dan fungsi seiring waktu relative dibandingkan sekumpulan lainnya yang belum terganggu oleh aktivitas manusia.
3. Kesehatan ekologi: kesehatan ekologi adalah ukuran relative kondisi suatu ekosistem berkaitan dengan kemampuannya menghadapi stress dan menjaga organisasi dan kemampuan mengatur diri sendiri seiring waktu.

Nilai penting keragaman hayati, keutuhan ekologi dan kesehatan ekologi
Konservasi alam dipertimbangkan penting atas dasar tiga alasan: 1) nilai intrinsik; 2) nilai instrumental / ekonomis; 3) nilai psikologis (emosional, spiritual). Nilai intrinsic adalah nilai-nilai alami itu sendiri terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Nilai instrumental adalah nilai alam berdasarkan kegunaannya bagi manusia, biasanya diukur dalam nilai ekonomis dan jasanya. Sedangkan nilai psikologis adalah nilai alam dalam bentuk kontribusi alam bagi psikologis manusia (esmosional, spiritual, dan estetik).

Konsep dasar pemahaman keragaman hayati, keutuhan dan kesehatan ekologi
Pemahaman akan pentingnya komponen alam yang perlu dipertimbangkan untuk dalam upaya konservasi berdasar pemahaman berbagai konsep kunci biologis, termasuk taksonomi, ekologi, genetic, geografi, dan biologi evolusi. Komponen kunci tersebut adalah: hirarki taksonomi, hirarki ekologis, keragaman genetic, konsep spesies, pertumbuhan populasi, distribusi spesies, komunitas dan ekosistem, stokastik (stokastik adalah kemungkinan suatu individu di alam dapat bertahan hidup dari satu periode ke periode lain), dan kepunahan (hilangnya garis evolusi suatu spesies).

Ancaman terhadap keragaman hayati, keutuhan ekologi, dan kesehatan ekologi
Alam terus menerus menghadapi berbagai ancaman dari manusia, termasuk akibat dari aktivitias pemanenan, perusakan dan modifikasi habitat, dan introduksi spesies bukan asli. Sejarah ekosistem hingga saat ini telah mencatat terjadinya perubahan dramatis dan menunjukkan perbedaan yang sangat ekstrim antara kondisi masa sekarang dibandingkan masa lalu, Keterancaman alam sangat dipengaruhi oleh seberapa besar perubahan itu sudah terjadi. Konsep yang salah tentang ekologi selama ini telah menuntun pembangunan ke arah terjadinya kehilangan keragaman hayati, degradasi keutuhan ekologi, dan penurunan kesehatan ekologi.
Dampak dari kolonisasi oleh manusia memiliki sejarah panjang menjadi penyebab kepunahan dan perubahan besar pada ekosistem. Pola kepunahan spesies yang saat ini terjadi terjadi dalam kecepatan yang sangat tinggi dan belum pernah terjadi dalam sejarah manusia. Perubahan iklim global yang saat ini melanda bumi adalah kenaikan rata-rata suhu bumi akibat efek rumah kaca dan memberikan konsekuensi buruk pada kehidupan di muka bumi. Efek rumah kaca terutama diakibatkan oleh berlebihnya penggunaan bahan bakar fosil, pelepasan karbon dari tumbuhan.

Perlindungan dan Restorasi keragaman hayati, keutuhan ekologi, dan kesehatan ekologi
Konservasi sumber daya alam memerlukan kombinasi berbagai strategi, termasuk perlindungan spesies teracam punah, pencadangan kawasan ekologi, pengendalian kegiatan manusia yang dapat merusak ekosistem, restorasi ekosistem, penangkaran, pengendalian spesies bukan asli, dan pendidikan biologi konservasi.
Perlindungan spesies terancam punah. Spesies dengan resiko kepunahan memerlukan perlindungan dari berbagai eksploitasi dan hilangnya habitat. Perlidungan spesies dilakukan dengan dengan melakukan identifikasi factor-faktor yang mengarahkan pada penurunan ukuran populasi serta penghilangan factor-faktor tersebut.
Sistem pencadangan kawasan ekologi. Kawasan yang ditujukan untuk keperluan konservasi perlu dibentuk dan dikelola sehingga dapat melindungi suatu ekosistem secara utuh, termasuk perlindungan terhadap spesies-spesies terancam punah. Kawasan ini merupakan suatu kawasan yang dikelola dengan tujuan utama untuk perlindungan spesies dari kepunahan, serta mempromosikan proses-proses ekologi dan evolusi. Efektivitas system ini sangat dipengaruhi berbagai aspek, termasuk tekanan terhadap kawasan, aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan, konektivitas habitat bagi organism di dalamnya. Kawasan ini perlu pula dipersiapkan untuk menghadapi dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam spesies yang dilindungi di dalamnya.
Restorasi ekosistem. Ekosistem yang sudah terdegradasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan fungsi dan perubahan komposisi spesies perlu dilakukan upaya restorasi terhadapnya sehingga dapat mencapai kondisi sedekat mungkin dengan kondisi alaminya. Upaya restorasi dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas penghilangan tekanan terhadap ekosistem, penghilangan spesies exotic, serta restorasi proses-proses ekologi.
Harapan Rainforest (http://harapanrainforest.org) adalah merupakan satu contoh upaya restorasi yang dilakukan di Indonesia. Sebagai proyek restorasi ekosistem pertama di Indonesia dan terbesar di dunia, dengan didukung Burung Indonesia, BirdLife International dan the Royal Society for the Protection of Birds, Harapan Rainforest melakukan upaya pemulihan ekosistem bekas lahan konsesi pembalakan hutan di atas areal hutan hujan dataran rendah seluas sekitar 98.555 ha yang terletak di perbatasan provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Upaya-upaya yang ditempuh Harapan Rainforest meliputi perlindungan kawasan, pemulihan kawasan dengan kegiatan penanaman, partisipasi dan peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan penelitian keragaman hayati untuk mendapatkan strategi restorasi terbaik.
Peningkatan populasi alami. Pada spesies yang terancam punah, manfaat dari peningkatan ukuran populasi melalui introduksi hasil penangkaran ke alam, dapat ditempuh. Tindakan perlu diambil untuk memelihara keragaman genetic antara generasi, serta minimalisasi habitatuasi terhadap manusia. Meski demikian perlu dipertimbangkan bahwas opsi ini sangatlah mahal, namun strategi ini bermanfaat untuk mencegah kepunahan secara awal.
Pengelolaan pemanenan dan spesies non alami. Jumlah individual yang dapat dipanen di alam harus diatur sehingga tidak meningkatkan ancaman kepunhanan spesies tersebut. Aturan yang jelas dan konsisten perlu dijalankan untuk pengaturan pemanenan populasi di alami. Sedangkan pengaturan spesies non alami perlu dijalankan agar tidak meningkatkan ancaman kepunahan populasi spesies yang terpengaruh oleh spesies non alami tersebut. Kebanyakan spesies non alami dapat berkembang biak dan menyebar diluar kendali sehingga mengakibatkan tekanan dan meningkatkan ancaman kepunahan terhadap spesies alami.
Partisipasi politik. Sangatlah penting kuatnya pemahaman dan partisipasi politik untuk memastikan konservasi biologi ke dalam ranah kebijakan public. Dalam hal ini diperlukan pemahaman proses dan struktur bagaiman kebijakan public dibuat, termasuk peraturan, administrative, hubungan dan lobi. Mengenal orang-orang kunci yang memainkan peran penting di berbagai tingkatan. Berbagi pengalaman dengan politisi untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang konservasi biologi serta pemahaman konservasionis mengenai pembuatan kebijakan public.
Pendidikan konservasi. Pendidikan konservasi perlu dijalankan di seluruh lini dan tingkatan komunitas, sehingga menciptakan kondisi di mana masyarakat dapat hidup berdampingan dengan alam. Pendidikan konservasi bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta perilaku yang penting bagi upaya konservasi.

Ditulis : 14 Maret 2010
Sumber : Trombulak, S.C., Omland, K.S., Robinson, J.A., Lusk, J.J., Fleischner, T.I., Brown, G., Domroese, M. 2004. Principles of Conservation Biology: Recommended Guidelines for Conservation Literacy from Education Committee of the Society for Conservation Biology. Conservation Biology 18(5): 1180-1190.

Thursday, March 4, 2010

populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009

Laporan Singkat Hasil survey populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009
•Agustus, 4, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar (Sunting)

Laporan Singkat Hasil survey populasi biawak Komodo dan Populasi mangsa Komodo di Cagar Alam Wae Wuul Juni – Juli 2009
Survey populasi biawak komodo dan mangsanya di dalam Kawasan Cagar Alam Wae Wuul Flores Barat telah dilakukan sejak tanggal 22 Juni hingga 19 Juli 2009. Metode lapangan yang digunakan untuk mendapatkan perkiraan populasi Biawak Komodo di Cagar Alam Wae Wuul adalah dengan menangkap menandai melepas dan menangkap kembali (Capture Mark Release Recapture). Metode ini dilakukan dengan menempatkan 26 perangkap yang disebar merata di dalam kawasan Cagar Alam Wae Wuul, setelah tertangkap, Biawak Komodo akan diukur dan ditandai, setelah itu, Biawak Komodo yang sudah ditandai akan dilepas kembali. Sementara itu, untuk mendapatkan nilai kepadatan mangsa Biawak Komodo (terutama Rusa), metode lapangan yang digunakan adalah metode penghitungan kotoran (pellet group) dalam setiap 30 titik/plot berdiameter 2 meter yang terletak di setiap 10 meter pada garis transek sepanjang 30 meter, dengan jumlah total garis transek sebanyak 40. Selain itu, untuk mendapatkan perkiraan nilai populasi mangsa Biawak Komodo, dilakukan juga penghitungan langsung dengan menggunakan metode jarak sepanjang garis transek.
Selama 22 hari survey populasi Biawak Komodo, diperoleh 17 ekor Biawak Komodo yang tertangkap, ditandai dan dilepas kembali. Dari 17 ekor Biawak Komodo yang tertangkap, hampir sebagian besar berukuran di bawah 4 Kg, dengan hanya satu ekor berukuran yang paling besar yaitu 19 Kg. Selama survey tidak pernah terlihat Biawak Komodo yang mempunyai ukuran lebih dari 20 Kg. Sementara itu, jumlah penghitungan kotoran rusa pada plot sepanjang garis transek yang berjumlah 40, menunjukan nilai yang sangat kecil (rata-rata dibawah 1 grup pelet pertransek), nilai rendah juga didapat dengan menggunakan metode penghitungan langsung sepanjang garis transek, yaitu hanya terdapat lima perjumpaan.
Berdasarkan data lapangan yang belum lama diperoleh, Populasi Biawak Komodo di Cagar Alam Wae Wuul berada dalam kondisi yang rentan untuk punah, selain terdapat penurunan yang signifikan sejak survey yang dilakukan tahun 1991, 2000 dan tahun lalu (Nopember 2008), tidak terdapatnya ukuran dewasa akan mengkhawatirkan untuk rekrutmen individu baru dalam populasi. Rendahnya ukuran populasi di Cagar Alam Wae Wuul juga berkaitan dengan rendahnya jumlah Rusa yang merupakan mangsa utama Biawak Komodo. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan usaha-usaha untuk pengelolaan habitat agar populasi Komodo dan Rusa kembali meningkat. selain itu usaha-usaha pengamanan juga perlu dilakukan beriringan dengan usaha pengelolaan habitat untuk mencegah terjadinya ancaman yang mengganggu proses ekologis dalam kawasan Cagar Alam Wae Wuul, seperti pencegahan kebakaran hutan.

Ditulis dalam Uncategorized
Populasi Komodo di Wae Wuul menurun drastis
•Agustus, 4, 2009 • Tinggalkan sebuah Komentar (Sunting)

Kegiatan survey populasi biawak Komodo (Varanus komodoensis) dan mangsanya yang dilaksanakan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur (Balai Besar KSDA NTT) bekerjasama dengan Komodo Survival Program (KSP) di Cagar Alam Wae Wuul, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, antara 22 Juni hingga 19 Juli 2009, sebagai implementasi naskah Perjanjian Kerjasama antara BALAI BESAR KSDA NTT NTT dan KSP tentang Penelitian dan Pemantauan Populasi Biawak Komodo dan Keanekaragaman Hayati Beserta Habitatnya di Propinsi Nusa Tenggara Timur yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 2008, dengan ini kami menyampaikan laporan sementara sebagai informasi mengenai keadaan terkini populasi biawak Komodo di CA Wae Wuul.
Dari hasil survey menggunakan metode penangkapan dan penandaan selama 22 hari dengan menggunakan 26 titik perangkap dan pencarian secara aktif meliputi kawasan seluas 14.484 ha (14.8 km2), hanya 17 individu yang terpantau di CA Wae Wuul. Sementara survey populasi mangsa utama biawak Komodo yang diukur menggunakan metode transek plot menunjukkan indeks kepadatan populasi Rusa Timor (Cervus timorensis) sebesar 0.48/transect.
Survey yang dilakukan pada tahun 1991 oleh PHKA menemukan 66 Komodo di Wae wuul dan area sekitarnya, sedangkan survey pada tahun 2000 oleh Ciofi dan De Boer bersama dengan Balai Besar KSDA NTT II, hanya 19 Komodo saja yang tertangkap, dengan kepadatan populasi 10 kali lebih rendah dibandingkan yang tertangkap di Taman Nasional Komodo. Pada survey yang dilakukan oleh BALAI BESAR KSDA NTT NTT dan KSP tahun 2008, hanya 10 kali perjumpaan saja 6 titik penempatan umpan gantung dari 16 lokasi tempat pengumpanan di Cagar Alam Wae Wuul. Sedangkan survey pada 2009 hanya 17 individu yang tertangkap. Indeks kepadatan Rusa Timor pada tahun 2008 tercatat 0.48/transek sedangkan pada survey tahun 2009 diperoleh nilai kepadatan dibawah 1/km2, menunjukkan adanya penurunan kepadatan populasi mangsa.
Berdasarkan hasil survey tersebut diatas, sangat jelas bahwa populasi biawak Komodo di Wae Wuul sangat terancam. Faktanya, populasi Komodo disana telah mengalami penurunan yang signifikan dalam kurun waktu 18 tahun. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya kepadatan Rusa Timor sebagai mangsa biawak Komodo dan tingginya tekanan aktivitas manusia seperti perburuan Rusa dan pembakaran padang rumput di sekitar dan di dalam kawasan.
Berdasar fakta tersebut, sehubungan dengan izin penangkapan biawak Komodo yang Bapak keluarkan melalui SK.384/Menhut-II/2009 tanggal 13 Mei 2009 tentang izin penangkapan 10 ekor biawak Komodo dari habitat aslinya di CA Wae Wuul, yang secara administratif termasuk kedalam wilayah Desa Macan Tanggar dan Desa Warloka, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, dengan ini kami menyarankan agar Bapak dapat mempertimbangkan pembatalan SK.384/Menhut-II/2009. Penangkapan 10 individu biawak Komodo di CA Wae Wuul akan sangat mempengaruhi keberadaan populasi tersebut. Kami khawatir penangkapan tersebut akan menyebabkan kepunahan biawak Komodo di Flores, khususnya di CA Wae Wuul yang mewakili keragaman genetik terpisah dari Taman Nasional Komodo.
Hingga saat ini, berbagai Kebun binatang di Indonesia telah bekerja dengan baik dalam membiakkan Komodo di penangkaran dan menurut pusat penelitian biologi LIPI, Komodo asal flores terdapat di tiga kebun binatang di Jawa: Ragunan (44 ekor), Gembira Loka (26 ekor), Surabaya (11 ekor). Alternatif yang mungkin dilakukan oleh kebun binatang Indonesia (dan luar negeri) yang lain untuk menambah jumlah koleksi Komodo adalah dengan mengandalkan Komodo yang ada dari kebun binatang – kebun binatang di Indonesia yang telah berhasil membiakkan Komodo. Populasi Komodo dalam penangkaran ini cukup mewakili secara genetis dan merupakan sumber yang baik untuk program penangkaran Komodo.
Oleh karena itu, kami menyarankan rencana perlindungan khusus untuk populasi Komodo yang tersisa di Cagar Alam Wae Wuul. EAZA akan melanjutkan membantu menyediakan dana untuk kegiatan perlindungan komodo yang dilaksanakan oleh Balai Besar KSDA NTT dan KSP.

Wednesday, March 3, 2010

KERAGAMAN HAYATI HARAPAN RAINFOREST 2009: KERAGAMAN JENIS AMFIBI DAN REPTIL DI KAWASAN HARAPAN RAINFOREST

LAPORAN SURVEY KERAGAMAN HAYATI HARAPAN RAINFOREST 2009:
KERAGAMAN JENIS AMFIBI DAN REPTIL DI KAWASAN HARAPAN RAINFOREST

M Jeri Imansyah (m.jeri@harapanrainforest.org)


Ringkasan
Hutan hujan dataran rendah Sumatra merupakan habitat yang kaya akan keragaman biologinya, sekaligus juga merupakan habitat yang sangat terancam di muka bumi ini. Dari sekitar 16 juta hektar hutan Sumatra pada tahun 1900, kini hanya tersisa 500,000 ha saja. Harapan Rainforest, merupakan serpihan hutan hujan tropis di Sumatra yang tersisa, meliputi kawasan seluas 98.555 ha hutan di perbatasan provinsi Jambi dan Sumatra Selatan baik yang masih utuh maupun yang telah mengalami pembalakan. Sekitar 36% dari kawasan ini merupakan hutan dengan tipe hutan sekunder tinggi, 15% hutan sekunder sedang, 41% merupakan hutan sekunder rendah, dan 8% adalah lahan terbuka. Saat ini kawasan Hutan Harapan Harapan Rainforest dalam pengelolaan Unit Majemen Harapan Rainforest untuk kegiatan restorasi ekosistem dengan tujuan mengembalikan kepada keadaan menjadi seperti semula.

Survey amfibi dan reptil di Harapan Rainforest dilakukan setiap bulan sepanjang tahun 2009, kecuali bulan Juli hingga September menggunakan tiga metode survey yang biasa digunakan, yaitu pencarian secara acak (opportunistic searching), metode transek (1.4 km) dan plot (20 m X 20 m). Sebelumnya Mistar (2003) menggunakan metode Visual Encounter Survey-Night Stream, penulusuran transek sepanjang 1.5 km dan pencarian secara acak.

Dengan menggabungkan hasil survey pada tahun 2003 dan 2009, tercatat 29 jenis amfibi dan 45 jenis reptiledi Harapan Rainforest, termasuk 5 jenis Amfibi dan 15 jenis reptile yang baru tercatat (Tabel 1). Jenis amfibi yang paling sering dijumpai adalah Fejerfarya cancricova, Fejerfarya limnocharis, Hylarana nicobariensis, dan Racophorus appendiculatus. Sedangkan jenis reptil yang paling umum dijumpai adalah Gecko smithii, Mabuya multifasciata dan Varanus salvator. Selain itu, di daerah camp utama Harapan Rainforest hingga daerah BPDAS banyak dijumpai (Naja sumatrana, Ophiophagus hannah, dan Pyton reticulates.

Dari keseluruhan jenis-jenis amfibi dan reptil tersebut berdasarkan kategori keterancampunahan menurut IUCN terdapat empat jenis amfibi yang dikategorikan Mendekati Terancam Punah (Near Threatened), yaitu Pelophrine signata, Limnonectes blythii, Limnonectes malesiana, dan Occidozyga baluensis, dan satu jenis reptile yang dikategorikan Terancam Punah (Endangered), yaitu Heosemis spinosa (Tabel 1). Enam jenis reptil juga termasuk dalam Appendix II CITES, yaitu Pyton reticulatus, Ophiophagus Hannah, Heosemys spinosa, Varanus dumerili, dan Varanus salvator (Tabel 1) . Sedangkan untuk amfibi tidak terdapat satu jenis pun yang masuk appendix CITES. Dari sisi perlindungan hukum berdasar PP no 7 tahun 1999, tidak satu jenis pun baik amfibi maupun reptile yang terdapat di dalam kawasan Harapan Rainforest terdaftar dalam lampiran PP tersebut.

Ancaman terhadap jenis-jenis reptile dan amfibi di dalam kawasan Harapan Rainforest adalah masih terjadinya aktivitias illegal logging dalam skala kecil di sepanjang sungai Kapas dan SPAS, ancaman ini terutama terjadi saat musim hujan berlangsung. Meski terjadi secara sporadis dan kecil-kecilan, namun karena sensitifitas amfibi dan reptile terhadap perubahan sekecil apapun terhadap lingkungan, hal ini dapat menjadi ancaman serius bagi konservasi amfibi dan reptil di Harapan Rainforest. Selama survey tidak ditemukan adanya tanda-tanda pemanenan jenis-jenis amfibi dan reptile.


Daftar Jenis Amfibi
Phrynoidis asper
Ingerophrynus divergens
Ingerophrynus quadriporcatus
Duttaphrynus melanostictus
Ingerophrynus parvus
Pelophryne signata
Kalophrynus pleurostigma
Microhyla palmipes
Kaloula baleata
Fejervarya cancrivora
Fejervarya limnocharis
Limnonectes blythii
Limnonectes malesiana
Occidozyga baluensis
Occidozyga sumatrana
Occidozyga laevis
Hylarana chalconota
Hylarana erythraea
Hylarana glandulosa
Odorana hosii
Hylarana nicobariensis
Hylarana picturata
Hylarana signata
Hylarana siberu
Hylarana baramica
Polypedates colletii
Polypedates leucomystax
Polypedates macrotis
Rachoporus appendiculatus


Daftar Jenis Reptil
Pyton reticulatus
Cylindrophis ruffus
Achrochordus javanicus
Naja Sumatrana
Ophiophagus hannah
Xenochrophis trianguligera
Xenodermus javanicus
Olygodon dorsalis
Oligodon signatus
Psammodynastes pictus
Lycodon subcintus
Chryopelea ornata
Dryophiops rubescence
Ahaetulla mycterizans
Ahaetulla prasina
Dendrelaphis caudolineatus
Dendrelaphis striatus
Sibynophis melanochephalus
Boiga jaspidea
Boiga dendrophila
Maticora bivirgata
Macrophistodon rhodomelas
Hemiydactylus frenatus
Cyrtodactylus quadrilineatus
Cyrtodactylus quadrivirgatus
Cyrtodactylus lateralis
Gecko smithi
Takydromus sexlineatus
Mabuya multifasciata
Mabuya macularia
Lygosoma bowringii
Lipinia vitigera
Spenomorphus stellatus
Gonocephalus chamaleontinus
Gonocephalus sumatranus
Bronchocela cristatella
Aphaniotus fuscus
Draco melanopogon
Draco volans
Heosemys spinosa
Heosemys grandis
Cyclemis dentata
Typhlops sp
Varanus dumerili
Varanus salvator